Sunday, October 11, 2009

Majalah Cakram (sebuah tambahan...)

Rontoknya majalah Cakram yang sebelumnya sudah dapat diprediksi sebelumnya ketika tongkat komando PT. Matari Adv (perusahaan induk Cakram) beralih, dari Ken T Sudarto kepada anaknya Michael Sudarto.

Menurut saya kemunduran Cakram, bahkan kebangkrutan media tersebut dimulai ketika mereka tergoda untuk merubah positioning mereka dari majalah industri menjadi majalah gaya hidup yang belakangan menjadi tren dalam industri media.....

Dalam konteks manajemen terlihat di sini sebuah perencanaan yang salah,

Cakram pada awalnya lahir untuk kebutuhan pelaku industri, khususnya industri periklanan. Meskipun dengan oplah yang relatif kecil (tidak lebih dari 10000 eksemplar), tetapi majalah ini telah memiliki segmen yang jelas dan memiliki prospek yang cerah di masa depan.

Kasus Cakram memberikan pelajaran kepada kita betapa pentingnya kata "fokus" dalam melaksanakan sesuatu.....

Mereka hancur karena tidak konsisten terhadap apa yang mereka rencanakan pada awal berdirinya. Sungguh sayang, sebenarnya mereka memiliki sumberdaya berupa Matari (perusahaan induk) yang memiliki bidang serupa (industri periklanan)....

Sayang sungguh sayang,
Saya jadi teringat kata seorang teman, FOKUS!, FOKUS!! dan FOKUS!!

Sejumlah media cetak besar di Amerika Serikat merugi, oplah berkurang, beberapa koran bahkan terpaksa tutup. Salah satu penyebabnya ialah karena pembaca berpindah ke situs-situs Internet yang memberikan informasi gratis.

Koran-koran di Amerika Serikat sekarang bermasalah, selain pengiklan yang berkurang, pembaca juga banyak yang mengandalkan media online. Contohnya koran terbesar di San Francisco, The San Francisco Chronicle, segera ditutup atau dijual karena pada 2008 mereka rugi Rp600 miliar. Dua koran paling bergengsi Amerika Serikat, New York Times dan Washington Post, melakukan langkah penghematan karena turunnya iklan dan menguatnya media online. Times akan memotong gaji sampai lima persen sedangkan Post bakal menawarkan pensiun dini.

Sepanjang 2008 industri koran Amerika terpaksa harus melepas sekitar 41 ribu tenaga kerja dan sekitar 9 ribu lowongan kerja di industri koran hilang dari awal 2009 sampai sekarang. Lima koran besar di USA tutup sejak akhir tahun lalu.

Begitulah isi berita yang dikutip DetikCom, Tempo Interaktif, dan Okezone dari kantor berita Reuters, AFP, dan AP. Antara lain berjudul:

  • 2 Koran AS Hentikan Edisi Cetak Gara-gara Tren Internet
  • Sirkulasi Koran-koran Amerika Mulai Menyusut
  • Kelompok Media Terbesar Kedua Australia Rugi Triliunan Rupiah
  • Terancam Bangkrut, Koran AS Pindah ke Online
  • Dua Koran Paling Top Amerika Potong Gaji dan Pecat Wartawan

Maka menarik apabila muncul pertanyaan, tapi mengapa di provinsi dan kabupaten-kabupaten di Indonesia justru semakin banyak bermunculan koran lokal? Apakah mereka punya modal kuat, korannya beroplah di atas 20 ribu eksemplar, atau iklan barisnya antri seperti di harian Analisa [Medan] dan Pos Kota [Jakarta]?

Bukan karena itu. Semisal di Sumatera Utara, hampir semua koran yang muncul di era Reformasi tidak punya modal cukup, bahkan menggaji wartawannya pun tidak mampu; oplah rata-rata cuma 2 ribu eksemplar; dan iklannya kebanyakan “iklan tembak”, itu pun bisa dihitung jari. Sementara sebuah koran daerah dalam hitungan kasar layak disebut sehat bila oplah terjualnya minimal 8 ribu eksemplar per terbit, plus setidaknya satu halaman iklan; itu pun laba nyaris tidak ada apabila semua wartawan dan karyawannya digaji layak. Lalu mengapa koran-koran itu tetap terbit?

Inilah yang unik: …karena korupsi. Sudah menjadi pengetahuan umum kalangan aktivis kebebasan pers Indonesia, banyak [kebanyakan] koran lokal justru muncul karena jumlah pejabat daerah yang terlibat korupsi juga semakin banyak. Pejabat-pejabat korup inilah “pangsa pasar” mereka yang sesungguhnya, bukan pembeli koran eceran atau pemasang iklan. Para koruptor inilah yang secara tidak langsung membiayai operasional koran, yaitu melalui pemberian amplop atau transfer ke rekening petinggi koran, proyek, iklan tembak atau iklan paksa, dan bentuk suap lainnya.

Meski dalam hitungan bisnis media koran-koran lokal ini tidak akan mampu bertahan, tapi faktanya adalah mereka akan tetap terbit selama masih banyak pejabat korup yang bisa diperas. Mereka baru akan terbenam ketika jumlah koruptor menjadi segelintir.

Jadi media senang kalau korupsi terus merajalela? Inilah rahasia dapur pers Indonesia yang sesungguhnya yang tidak akan mereka buka kepada publik.

SUMBER : blogberita.net

Setelah beberapa kali melakukan pencarian, ternyata sangat susah mencari media massa indonesia yang masuk dalam kategori bangkrut.....

Terdapat sebuah fenomena menarik di sini,
krisis ekonomi global tidak begitu mempengaruhi bisnis media massa di Indonesia, Wow!

SUPER SEKALI!!! (kata Mario Teguh..)

Ternyata sebagian besar media massa di Indonesia (baca; media cetak lokal) memiliki motivasi yang tak lebih dari sekelompok preman (dikit2 malak gitu!!).

Saya jadi bingung terhadap tugas ini,

Menurut saya, dalam sedikit kasus bangkrutnya sebuah media dipengaruhi beberapa faktor standar seperti ; manajemen yang buruk, visi yang kurang jelas, persaingan usaha yang makin ketat, dll....

Tapi yang utama media tersebut masih memiliki sedikit moral untuk tidak berbuat "jahat" seperti yang terdapat di artikel diatas....

153050058 (Gita Timur)

Tuesday, September 16, 2008

Zakat Pantura

"PEMBAGIAN ZAKAT KACAU, 21 TEWAS!!!''

Mau untung malah buntung, itulah yang dialami sebagian masyarakat di pasuruan. Alih- alih membawa pulang uang sebesar Rp. 30.000,00, yang terjadi justru sebanyak 21 rekan mereka tewas, ko'it, mati. Sami mawon Mas!!
Sama- sama konyol!!!

Kalau sudah seperti itu,

"sing goblok ki sakjane sopo to jal?", kata Lik Sodi tukang cendol deket jembatan cebongan.

Kata cak Diqin sekretaris Dusun SASANALAYA (bukan penyanyi campursari yang lirik lagunya rada mesum itu loch!!) "yo sing salah iku kabeh''.

kabeh
itu siapa cak?.

"kabeh itu semua" imbuh cak Diqin.

Sakit!!!.

Ra mutu!!!!.

Daripada ndak jelas, mending saya aja yang komentar (hi.. hi.. hi...).

Yang (dianggap) bersalah adalah ;

1. H. Syaikon se- keluarga, karena biar kaya n dermawan tapi sok tau!!.
2. Pemerintah melalui institusi terkait, karena ndak becus ngurus rakyatnya.
3. Yang ikut antri Zakat (makanya kerja!!!), maunya gratisan mulu!!!.

NB :
Tulisan di atas merupakan contoh buruknya mananajemen zakat di indonesia.
Semua yang tertulis merupakan pendapat pribadi dan dibuat untuk tugas kuliah manajemen media.

153050058